![]() |
Penulis Romadhon Jasn, Direktur Gagas Nusantara. (Foto: Dok/Ist). |
Portal Demokrasi, Opini- Indonesia berada di persimpangan kritis. Potensi energi terbarukan kita terbesar di Asia Tenggara, namun ketergantungan pada bahan bakar fosil masih mendominasi. Hingga Februari 2025, bauran energi terbarukan baru mencapai 14,5%, jauh dari target 23% dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN). Kesenjangan ini bukan hanya soal teknologi atau pendanaan, tetapi juga rendahnya literasi energi masyarakat. Edukasi massal dan kolaborasi lintas sektor adalah kunci untuk mewujudkan transisi energi bersih yang inklusif dan berkelanjutan.
Potensi Besar yang Terpendam
Indonesia adalah negara yang dikaruniai kekayaan alam luar biasa. Potensi tenaga surya kita mencapai 207 gigawatt (GW), tenaga angin sekitar 60 GW, dan bioenergi dari limbah pertanian serta kehutanan menyumbang puluhan GW lainnya, menurut kajian Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Namun, potensi ini masih terpendam. Data Institute for Essential Services Reform (IESR) pada 2024 menunjukkan bahwa hanya 35% rumah tangga perkotaan yang memahami teknologi energi bersih seperti panel surya. Di pedesaan, angka ini bahkan lebih rendah.
Tanpa pemahaman yang memadai, potensi besar ini hanya akan menjadi angka statistik. Edukasi adalah jembatan untuk mengubah angka-angka tersebut menjadi kenyataan di lapangan.
Kolaborasi Lintas Sektor: Kunci Keberhasilan
Transisi energi bersih tidak bisa dilakukan sendirian. Kolaborasi lintas sektor adalah prasyarat keberhasilan. Pemerintah memiliki peran penting dalam menciptakan kebijakan yang mendukung, seperti insentif pajak untuk PLTS rumah tangga yang mulai menjangkau wilayah suburban pada 2025, atau subsidi untuk proyek mikrohidro di daerah terpencil.
Namun, kebijakan saja tidak cukup. Sektor swasta, dengan teknologi dan modalnya, harus terus berinovasi. Contohnya, PLTS modular yang telah populer di kalangan usaha kecil menengah sejak 2024. Akademisi, melalui riset terapan, seperti pengembangan turbin angin skala kecil yang hemat biaya, dapat mempercepat implementasi teknologi baru. Di sisi lain, organisasi masyarakat sipil harus berperan aktif sebagai penyambung lidah ke komunitas lokal, terutama di daerah terpencil.
Sinergi ini menciptakan ekosistem yang efisien: pemerintah membuka pintu, swasta menyediakan alat, dan masyarakat menjadi pelaku utama dalam transformasi energi.
Edukasi: Jembatan Menuju Adopsi Energi Bersih
Edukasi adalah elemen kunci yang menghubungkan potensi teknis dengan penerapan nyata. Di perkotaan, kampanye digital terbukti efektif. Video pendek tentang efisiensi energi yang dibagikan melalui media sosial pada 2025 menjangkau lebih dari 70% pengguna internet di kota-kota besar. Studi IESR 2024 menunjukkan bahwa 72% rumah tangga perkotaan bersedia mengadopsi PLTS atap jika informasi biaya dan proses instalasi disampaikan secara transparan.
Di pedesaan, pendekatan langsung lebih berhasil. Contohnya, desa-desa di Kalimantan Barat yang pada 2024 mulai memanfaatkan biogas dari limbah ternak setelah mendapat pelatihan dari LSM lokal. Selain itu, integrasi materi energi terbarukan dalam kurikulum sekolah, yang mulai diuji coba oleh Kementerian Pendidikan pada 2025, adalah langkah awal yang menjanjikan untuk membentuk generasi yang melek energi.
Tantangan yang Harus Diatasi
Tantangan dalam edukasi energi tidak bisa diabaikan. Survei nasional 2024 mengungkap bahwa hanya 28% warga pedesaan yang menyadari bahwa energi terbarukan dapat mengurangi tagihan listrik mereka. Biaya awal teknologi hijau juga sering menjadi hambatan psikologis, meskipun harga panel surya telah turun 15% sejak 2023 berkat kebijakan impor yang lebih kompetitif.
Resistensi budaya juga menjadi kendala. Banyak komunitas pedesaan masih bergantung pada kayu bakar, yang sulit digantikan oleh biogas tanpa pendekatan yang peka terhadap tradisi lokal. Solusinya adalah edukasi yang adaptif: menggunakan bahasa lokal, melibatkan tokoh masyarakat sebagai agen perubahan, dan menonjolkan manfaat langsung seperti penghematan biaya atau peningkatan kualitas udara.
Manfaat yang Tidak Terbantahkan
Transisi energi bersih membawa manfaat yang signifikan. Secara ekonomi, pengurangan ketergantungan pada impor bahan bakar fosil—yang pada 2024 menghabiskan Rp280 triliun—akan menghemat devisa negara. Di tingkat rumah tangga, pengguna PLTS atap dilaporkan memangkas biaya listrik hingga 35% pada 2025, menurut laporan BPPT.
Dari sisi lingkungan, transisi ini mendukung komitmen Indonesia dalam Nationally Determined Contribution (NDC) untuk mengurangi emisi karbon sebesar 29% pada 2030. Proyeksi 2025 menunjukkan pengurangan emisi sebesar 12% dari baseline jika laju saat ini dipertahankan. Kesehatan masyarakat juga akan membaik—polusi udara dari pembakaran fosil, yang pada 2024 menyebabkan 50.000 kasus penyakit respiratori di Jawa, dapat ditekan secara signifikan.
Februari 2025 adalah momentum yang tepat untuk memulai langkah kolektif ini. Sebagai bulan awal tahun fiskal, ini adalah waktu ideal untuk menanamkan kesadaran baru—bahwa energi bersih bukan lagi barang mewah, melainkan kebutuhan mendesak. Transisi energi bukan hanya tanggung jawab teknokrat atau pengusaha besar, tetapi juga hak dan kewajiban setiap warga negara.
Langkah konkret harus segera diambil. Pemerintah dan Masyarakat perlu memperkuat program edukasi yang melibatkan tokoh masyarakat dan pemimpin lokal. Sektor swasta harus terus berinovasi menciptakan teknologi energi bersih yang mudah diakses dan digunakan. Media sosial dan platform digital harus dimanfaatkan secara maksimal untuk menyebarkan informasi tentang manfaat energi terbarukan.
Energi bersih bukan hanya mimpi, tapi tanggung jawab kita bersama. Mari mulai dari diri sendiri: pasang panel surya di rumah, ikuti pelatihan energi terbarukan, atau bagikan informasi ini kepada orang terdekat. Setiap tindakan kecil berkontribusi pada masa depan yang lebih bersih dan berkelanjutan.
Transisi energi bersih di Indonesia adalah langkah yang tidak bisa ditunda lagi. Dengan tantangan besar yang ada, mulai dari ketergantungan pada energi fosil hingga rendahnya literasi energi, kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, akademisi, dan masyarakat menjadi kunci untuk mencapai target ambisius dalam Rencana Umum Energi Nasional. Jika kita ingin menciptakan masa depan yang lebih hijau, lebih sehat, dan lebih sejahtera, pendidikan energi terbarukan menjadi dasar yang harus kita tanamkan sejak dini. Tanpa pemahaman yang kuat tentang manfaat dan cara kerja teknologi ini, potensi energi terbarukan Indonesia hanya akan tinggal sebagai potensi belaka.
Demi mencapai tujuan ini, kita tidak hanya membutuhkan kebijakan yang mendukung, tetapi juga perubahan dalam pola pikir dan budaya masyarakat. Edukasi yang memadai dapat mengubah cara kita melihat dan memanfaatkan energi, dari sekadar kebutuhan dasar menjadi bagian dari gaya hidup yang berkelanjutan. Tanpa adanya kesadaran kolektif, kita akan kesulitan mengatasi tantangan besar yang dihadapi dalam perjalanan transisi ini.
Kita berada di titik krusial, dan saatnya untuk bertindak adalah sekarang. Dengan langkah konkret yang melibatkan seluruh elemen bangsa, Indonesia dapat menjadi pionir dalam transisi energi bersih di Asia Tenggara, sekaligus menciptakan masa depan yang lebih adil, efisien, dan ramah lingkungan bagi generasi mendatang.
*) Penulis Romadhon Jasn, Direktur Gagas Nusantara.